Picture : https://pixabay.com/id/illustrations/arah-direktori-jauh-keputusan-1033278/ Pengertian wanprestrasi menurut Salim HS adalah tidak terpenuhinya atau lalai dalam melaksanakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh “kreditur dengan debitur” dalam suatu perjanjian. [1] Sedangkan wujud tidak memenuhi perjanjian ada 3 (tiga) macam yaitu: a. debitur sama sekali tidak memenuhi perjanjian; b. debitur terlambat memenuhi perjanjian; atau c. debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perjanjian. [2] Adanya suatu wanprestasi dapat menimbulkan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1239 KUHPerdata. “Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaanya, atau telah tidak merawatnya sepatuhnya guna menyelama...
Picture : https://pixabay.com/id/photos/laptop-kantor-tangan-menulis-3196481/ |
Salim HS dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)” membagi asas perjanjian menjadi 3 (tiga) pokok, yaitu asas konsesualisme, asas pacta sunt servanda dan asas kebebasan berkontrak, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”[1]
Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk:
a.
membuat
atau tidak membuat perjanjian;
b.
mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
c.
menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan;
d.
menentukan
bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.[2]
Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, asas
kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran
hak asasi manusia. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diartikan mutlak,
tetapi diberi arti relatif dikaitkan dengan kepentingan umum.[3]
b.
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan merupakan persetujuan para
pihak untuk menutup perjanjian. Hal ini ditentukan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata mengenai salah satu syarat sahnya kontrak yaitu adanya kesepakatan
kedua belah pihak.[4]
c.
Asas Pacta Sunt Servada
Asas pacta sunt
servada juga disebut asas kepastian hukum, yaitu asas yang berhubungan
dengan akibat perjanjian, dan hakim serta pihak lainya harus menghormati
subtansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, selayaknya undang-undang.[5] Hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”[6]
Pasal
tersebut menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak
merupakan peraturan yang dibuat oleh kedua belah pihak, yang tercantum dalam
klausa-klausanya dalam perjanjiannya, serta ketentuan-ketentuan tersebut wajib
dilakukan sebagaimana yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak.
Selain ketiga asas tersebut, di dalam Lokakarya Hukum
Perikatan yang diselengarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,
telah dirumuskan asas hukum perikatan nasional, yaitu asas kepercayaan, asas
persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas
kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan. Beberapa asas tersebut akan
diuraikan sebagai berikut:
a.
Asas Kepercayaan
Pihak-pihak yang akan melakukan suatu perjanjian harus membutuhkan
adanya kepercayaan, sehingga perjanjian itu dapat dilaksanakan serta akan
memenuhi setiap prestasi yang dilaksanakan tersebut.
b.
Asas Persamaan Hukum
Bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak,
dan kewajiban yang sama dalam hukum, dan tidak membeda-bedakan antara satu sama
yang lain.
b. Asas Keseimbangan
Asas
ini merupakan asas yang memenuhi dan melaksanakan perjanjian antara kedua belah
pihak.
c. Asas Kepastian Hukum
Asas ini mengandung kepastian hukum yang mengikat perjanjian, yaitu
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
d. Asas Moral
Dalam perikatan, suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan
mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Faktor-faktor dalam memberikan motivasi pada para pihak untuk melakukan
perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati
nuraninya.
e. Asas Kepatutan
Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
f. Asas Kebiasaan
Asas ini merupakan bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, namun juga dalam hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim untuk diikuti.[7]
[1] Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), Pasal 1338 ayat (1).
[2] Yahman, Karakteristik Wanprestasi & Tindak
Pidana Penipuan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011, hal. 7.
[3] Mariam Darus
Badrulzaman, Op.cit., hal. 110-111.
[4] Yahman, Op.cit., hal. 8.
[5] Loc.cit.
[6] Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1338 ayat (1).
[7] Salim, Op.cit., hal. 157-160.
Comments
Post a Comment